Prespektif

Pilkada 2024: Drama, Dinasti, dan Dilema Demokrasi

×

Pilkada 2024: Drama, Dinasti, dan Dilema Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Pilkada 2024: Drama, Dinasti, dan Dilema Demokrasi. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWA)
Pilkada 2024: Drama, Dinasti, dan Dilema Demokrasi. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWA)

Gotimes.id – Tahun 2024 menjadi tonggak penting dalam perjalanan politik Indonesia. Setelah pada 14 Februari rakyat memilih Presiden, Wakil Presiden, dan anggota legislatif, kini perhatian beralih ke Pilkada serentak yang akan berlangsung pada 27 November. Momen ini akan menentukan wajah kepemimpinan di tingkat daerah, mulai dari Bupati, Wali Kota, hingga Gubernur.

Sebanyak 1.556 pasangan calon siap bertarung dalam Pilkada kali ini, terdiri dari 103 pasangan calon gubernur-wakil gubernur di 37 provinsi, 1.168 pasangan calon bupati-wakil bupati di 415 kabupaten, serta 284 pasangan calon wali kota-wakil wali kota di 93 kota. Pilkada bukan sekadar kompetisi politik, tetapi juga bagian penting dari pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Otonomi daerah memberikan kewenangan luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur wilayahnya, kecuali urusan yang menjadi hak eksklusif pemerintah pusat. Tujuan utamanya adalah menciptakan kepemimpinan yang mampu menjawab kebutuhan lokal secara langsung. Sejak tahun 2005, mekanisme Pilkada diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, menggantikan sistem sebelumnya yang dilakukan oleh DPRD.

Baca Juga  SPT Sekda Ganggu Aktivitas Di Dinas PMD?

Langkah ini dianggap sebagai kemajuan demokrasi, memberikan rakyat suara lebih besar dalam menentukan pemimpin mereka. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa demokrasi langsung tidak selalu menghasilkan pemimpin yang amanah.

Korupsi menjadi salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah. Data KPK (2004–2024) menunjukkan bahwa 167 kepala daerah terlibat kasus korupsi, mayoritas berkaitan dengan suap dan gratifikasi. Hal ini sering kali dipicu oleh tingginya biaya kontestasi politik, yang membuat kandidat terpaksa mencari sponsor atau “investor politik,” sehingga menciptakan potensi korupsi di kemudian hari.

Sebagaimana diungkapkan oleh Ryaas Rasyid, sebagian kepala daerah lebih fokus pada pencitraan daripada substansi kepemimpinan, bahkan rela menggunakan politik uang untuk memenangkan suara. Akibatnya, kualitas kepemimpinan sering kali tidak sejalan dengan harapan masyarakat.

Baca Juga  Aktivis Desak Dinkes Beri Sanksi RS Multazam Terkait Layanan Buruk

Pilkada langsung juga membawa dampak sosial yang signifikan, terutama dalam bentuk polarisasi politik di masyarakat. Salah satu kasus ekstrem adalah insiden carok di Sampang, Madura, pada 17 November 2024, yang dipicu oleh perbedaan dukungan terhadap calon Bupati. Insiden ini mencerminkan bagaimana perpecahan politik bisa berujung pada konflik fisik dan korban jiwa.

Selain itu, politik dinasti menjadi sorotan dalam Pilkada 2024. Berdasarkan penelitian gabungan IFAR Unika Atma Jaya, Election Corner UGM, dan PolGov UGM, tercatat ada 605 politisi dinasti yang bertarung dalam Pilkada serentak kali ini—dua kali lipat dibandingkan pilkada sebelumnya.

Politik dinasti memperkuat ketimpangan akses dalam demokrasi, menciptakan iklim politik yang eksklusif dan terfokus pada jaringan keluarga tertentu. Meskipun tidak dilarang secara hukum, tren ini menghambat lahirnya pemimpin baru dengan gagasan segar.

Baca Juga  Aktivis Desak Dinkes Beri Sanksi RS Multazam Terkait Layanan Buruk

Pilkada serentak 2024 adalah cerminan kompleksitas demokrasi Indonesia. Di satu sisi, mekanisme ini memberikan rakyat kebebasan memilih pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Di sisi lain, tantangan berupa korupsi, politik uang, polarisasi sosial, dan politik dinasti menjadi pengingat bahwa demokrasi perlu terus diperbaiki.

Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kesadaran masyarakat dalam memilih pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki integritas, kapasitas, dan keberanian untuk membawa perubahan positif. Pilkada 2024 adalah ujian bagi Indonesia: apakah kita bisa melangkah menuju demokrasi yang lebih dewasa, atau justru terjebak dalam dinamika lama yang berulang?

**Cek berita dan artikel terbaru kami dengan mengikuti saluran WhatsApp di :

Example 120x600