Saya melihat ini sebagai bentuk sentralisasi kuasa yang sangat kontradiktif dengan semangat koperasi. Koperasi dibangun dari, oleh, dan untuk rakyat. Tapi bila kendali legalitasnya sudah diambil alih oleh aktor-aktor di luar struktur koperasi, maka eksistensinya tidak lebih dari formalitas administratif semata yang dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat.
Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: siapa yang paling diuntungkan dari pola seperti ini? Jika tidak ada evaluasi serius, besar kemungkinan koperasi-koperasi desa ke depan hanya akan menjadi boneka struktural yang dikelola dari balik layar, bukan oleh masyarakat desa itu sendiri.
Sudah waktunya kita menuntut agar setiap proses pendaftaran koperasi terutama yang difasilitasi oleh negara atau pemerintah daerah mengembalikan kewenangan penuh kepada pengurus. Biarkan mereka memilih notaris yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan mereka sendiri. Negara seharusnya hanya hadir sebagai fasilitator, bukan penentu arah yang menyimpang dari prinsip otonomi.
Jika tidak, nama “Merah Putih” dalam koperasi itu hanya akan menjadi simbol yang kosong makna, merah karena amarah masyarakat yang tak berdaya, dan putih karena kebijakan yang tampak bersih namun menyimpan noda kepentingan di baliknya.