Oleh: Mais Nurdin (Pemerhati Kebijakan Desa)
Gotimes.id, Gorontalo – Pendaftaran Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih semestinya menjadi tonggak awal kemandirian ekonomi masyarakat desa. Namun, proses yang idealnya berpijak pada prinsip transparansi dan kedaulatan justru mulai tercoreng oleh praktik-praktik yang patut dipertanyakan. Salah satu praktik tersebut adalah pembatasan hak pengurus koperasi dalam memilih notaris secara mandiri.
Alih-alih diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri notaris yang akan mendampingi proses legalitas koperasi, para pengurus diarahkan—bahkan bisa dikatakan “dipaksa” untuk menggunakan jasa notaris tertentu yang sudah ditentukan sebelumnya. Praktik ini menimbulkan kesan kuat adanya “bagi-bagi jatah” kepada segelintir notaris, dengan latar kepentingan yang belum tentu sejalan dengan kepentingan koperasi itu sendiri.
Ini bukan persoalan remeh. Penunjukan sepihak terhadap notaris tidak hanya melanggar prinsip keadilan prosedural, tetapi juga membuka ruang besar bagi konflik kepentingan. Tidak menutup kemungkinan, penunjukan tersebut bermuatan keuntungan pribadi, pengaruh politik lokal, atau bahkan proyek-proyek titipan yang ingin dikunci dari awal.
Koperasi, sebagai lembaga ekonomi rakyat yang dijamin oleh Undang-Undang, seharusnya menjadi ruang demokratis di mana semua keputusan termasuk soal legalitas diambil secara partisipatif dan terbuka. Ketika proses awal saja sudah dikendalikan oleh pihak luar, bagaimana mungkin koperasi tersebut bisa menjadi instrumen kedaulatan ekonomi desa?
Saya melihat ini sebagai bentuk sentralisasi kuasa yang sangat kontradiktif dengan semangat koperasi. Koperasi dibangun dari, oleh, dan untuk rakyat. Tapi bila kendali legalitasnya sudah diambil alih oleh aktor-aktor di luar struktur koperasi, maka eksistensinya tidak lebih dari formalitas administratif semata yang dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat.
Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: siapa yang paling diuntungkan dari pola seperti ini? Jika tidak ada evaluasi serius, besar kemungkinan koperasi-koperasi desa ke depan hanya akan menjadi boneka struktural yang dikelola dari balik layar, bukan oleh masyarakat desa itu sendiri.
Sudah waktunya kita menuntut agar setiap proses pendaftaran koperasi terutama yang difasilitasi oleh negara atau pemerintah daerah mengembalikan kewenangan penuh kepada pengurus. Biarkan mereka memilih notaris yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan mereka sendiri. Negara seharusnya hanya hadir sebagai fasilitator, bukan penentu arah yang menyimpang dari prinsip otonomi.
Jika tidak, nama “Merah Putih” dalam koperasi itu hanya akan menjadi simbol yang kosong makna, merah karena amarah masyarakat yang tak berdaya, dan putih karena kebijakan yang tampak bersih namun menyimpan noda kepentingan di baliknya.