“Partisipasi publik tidak bisa dibatasi hanya lewat forum formal,” kata Asrul.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen KSDAE KLHK, Satyawan Pudyatmoko, menyebut bahwa kementeriannya mengikuti agenda DPR dan melakukan diskusi dengan akademisi. Namun ia mengakui, proses tersebut bersifat informal dan tidak terdokumentasi secara menyeluruh.
Para pemohon menilai UU 32/2024 berpotensi merugikan masyarakat adat dan komunitas lokal, serta membuka peluang kriminalisasi dan perampasan hak. Mereka meminta MK menyatakan UU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan memberlakukan kembali UU 5/1990 serta pasal-pasal tertentu dalam UU SDA.