Berdasarkan keterangan sejumlah warga, kompensasi yang mereka terima di bank dipotong secara sepihak. Tak hanya itu, uang potongan itu langsung dikirim ke rekening Ketua Tim 12. Alasan pemotongan disebut-sebut sebagai “kesepakatan bersama” narasi yang terdengar rapi, tapi tanpa dasar hukum yang jelas.
Padahal, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebut jelas: setiap aparat yang dengan dalih apapun memotong hak orang lain tanpa dasar hukum dapat dipidana hingga 20 tahun penjara. Tambahan Pasal 368 dan Pasal 415 KUHP memperkuat posisi warga sebagai korban, bukan pelaku.
Kekuasaan dalam Kesunyian
Yang paling disesalkan dari persoalan ini adalah diamnya para pemangku kepentingan. Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara, DPRD, hingga Pemerintah Provinsi belum terlihat mengambil sikap tegas. Padahal laporan masyarakat telah berulang kali disuarakan. PT GBL sebagai investor utama pun belum menunjukkan iktikad untuk melakukan audit menyeluruh atas pembayaran tanah tahap pertama dan kedua.
Ketika suara rakyat diabaikan, dan praktik curang dibiarkan, maka KEK Anggrek akan dibangun di atas kepercayaan yang runtuh.
Audit: Langkah yang Tak Bisa Ditawar
Langkah paling masuk akal saat ini adalah menghentikan sementara seluruh proses pembayaran pembebasan lahan. Audit menyeluruh wajib dilakukan, mencakup:
- Keabsahan dokumen kepemilikan;
- Riwayat penguasaan fisik oleh masyarakat;
- Aliran dana kompensasi;
- Peran dan tanggung jawab Tim 12, aparat desa, serta perwakilan perusahaan.
Audit tersebut sebaiknya melibatkan lembaga independen dan bukan dikoordinir oleh pihak yang terlibat dalam proyek.
Pembangunan untuk Siapa?
Pembangunan harusnya menghapus kesenjangan, bukan memperlebar ketimpangan. Tapi dalam proyek KEK Anggrek, pembangunan justru membuka peluang baru bagi perampasan hak. Alih-alih memberdayakan masyarakat, proses pembebasan lahan justru membuat rakyat kehilangan tanahnya bukan karena tidak punya bukti, tapi karena kalah berhadapan dengan dokumen palsu dan tekanan birokrasi.
Jika pemerintah membiarkan skema ini terus berlangsung, maka Gorontalo Utara tak sedang membangun masa depan, melainkan sedang menyiapkan panggung baru untuk praktik mafia tanah berkedok pembangunan nasional.