Oleh: Ahmad Fajrin
Sekretaris Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Gorontalo Utara
GoTimes.id – Seharusnya ini perkara sederhana. Dividen adalah keuntungan yang dibagikan kepada pemegang saham, dalam hal ini Pemerintah Daerah, sebagai buah dari penyertaan modal di Bank SulutGo (BSG). Ada perhitungan, ada keputusan RUPS, ada tanggal pencairan, dan ada bukti transfer. Semua bisa dilacak, dibuktikan, dan dijelaskan dalam hitungan menit jika memang datanya terbuka.
Namun anehnya, di Gorontalo Utara, dividen BSG justru menjadi sumber kabut tebal yang menutup pandangan publik. Angka Rp1,4 miliar tiba-tiba muncul di forum resmi DPRD, bukan dari orang sembarangan, tapi dari Lukum Diko, anggota Badan Anggaran DPRD dari Fraksi Golkar. Angka itu bukan hasil tebakan, melainkan informasi yang ia terima dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat yang punya hak mengawasi. Menurutnya, dari total dividen 2024 sekitar Rp3,6 miliar, yang masuk ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) baru Rp2,2 miliar. Sisanya, Rp1,4 miliar, belum jelas.
Forum Banggar adalah forum sakral dalam tata kelola keuangan daerah. Di situ, pemerintah wajib memberikan keterangan lengkap dan jujur kepada wakil rakyat. Maka pernyataan Lukum harusnya menjadi pintu masuk untuk klarifikasi detail. Namun apa yang terjadi? Dua hari setelah rapat, Sekretaris Daerah Suleman Lakoro, yang juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), keluar ke media dan menyatakan semua dividen sudah masuk. Untuk Deviden 2024 sebesar Rp3,5 miliar diterima penuh pada 21 April 2025, dan dividen 2023 sebesar Rp3,61 miliar sudah masuk sejak 16 Februari 2024.
Di sinilah masalahnya: dua institusi resmi memberikan dua versi data yang saling bertolak belakang. DPRD bilang masih ada sisa Rp1,4 miliar, Pemkab bilang nihil kekurangan. Dan perbedaan ini tidak dijelaskan tuntas di forum resmi, melainkan diluruskan lewat media.
Ini jelas bukan sekadar salah paham. Ini soal kredibilitas. Jika Pemkab benar, mengapa tidak menyampaikan data itu di rapat? Mengapa membiarkan kebingungan berlangsung, lalu buru-buru mengklarifikasi di luar? Kalau DPRD yang benar, berarti Pemkab mencoba memoles fakta dengan narasi yang menenangkan tapi tidak sesuai kenyataan. Kedua skenario sama-sama buruk bagi citra pemerintahan.
Sebagai rakyat, saya marah. Karena dividen bukan uang pribadi pejabat, melainkan hak publik yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap rupiah adalah hasil dari partisipasi modal daerah di BSG, yang notabene berasal dari APBD — uang pajak, retribusi, dan sumber pendapatan lainnya yang dikumpulkan dari rakyat. Ketika ada Rp1,4 miliar yang statusnya kabur, itu berarti ada hak publik yang tidak jelas keberadaannya.
Lebih menyakitkan lagi, pernyataan Pemkab keluar tanpa bukti pendukung yang dibuka ke publik. Tidak ada dokumen resmi, tidak ada bukti transfer yang dipublikasikan, tidak ada notulensi rapat dengan BSG pusat yang bisa memvalidasi klaim tersebut. Sementara, di forum Banggar, bahkan perwakilan BSG cabang Gorut mengaku belum menerima informasi resmi dari kantor pusat terkait sisa dividen itu. Artinya, ada kontradiksi internal yang nyata, tapi dihadapan publik, Pemkab memilih tampil seolah semua baik-baik saja.
Saya ingin mengingatkan, menyembunyikan informasi fiskal di era keterbukaan informasi publik adalah blunder besar. Sekali publik merasa dibohongi, kepercayaan yang hilang tidak bisa dibeli kembali. Satu isu dividen yang tidak transparan bisa menjadi simbol dari buruknya pengelolaan keuangan daerah secara keseluruhan.
Jangan salahkan masyarakat jika mulai bertanya-tanya: kalau dividen yang nilainya jelas saja bisa diperdebatkan, bagaimana dengan dana-dana lain yang jauh lebih besar nilainya? Apakah kita harus menunggu BPK atau aparat penegak hukum turun tangan baru kebenaran terbuka?
Saya menyerukan agar DPRD tidak membiarkan masalah ini selesai dengan “klarifikasi media”. Gelar rapat dengar pendapat terbuka. Hadirkan TAPD, hadirkan BSG pusat, hadirkan bukti fisik transfer, hadirkan dokumen realisasi penerimaan. Jangan ada satu pun data yang disembunyikan.
Karena ini bukan cuma soal angka Rp1,4 miliar. Ini tentang integritas pejabat publik, kredibilitas DPRD, dan kepercayaan rakyat. Kalau pemerintah memang benar, buktikan di forum resmi, di bawah sumpah jabatan, di hadapan rakyat. Kalau salah, akui, minta maaf, dan perbaiki.
Kebenaran hanya butuh satu hal: keberanian untuk membukanya. Dan saat ini, yang saya lihat justru ketakutan untuk berkata jujur.