Ia mengingatkan bahwa UU PDP memperbolehkan transfer data hanya jika negara penerima memiliki tingkat perlindungan setara, ada mekanisme hukum yang mengikat, atau disertai persetujuan subjek data pribadi.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menyebut kesepakatan ini berpotensi menjadikan data pribadi warga Indonesia sebagai komoditas dagang. Ia menegaskan, tanpa evaluasi independen dan partisipasi publik, maka kesepakatan berisiko tinggi terhadap hak digital warga negara.
“Kesepakatan internasional seperti ini tidak boleh dibuat sebelum ada kesiapan regulasi dan jaminan perlindungan hukum yang konkret,” tegasnya.
Kekhawatiran juga muncul atas kemungkinan akses pemerintah AS terhadap data WNI melalui aturan Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA). Hal serupa menjadi dasar pembatalan kerja sama transfer data antara Uni Eropa dan AS dalam kasus Schrems II, karena FISA dianggap melanggar privasi warga Uni Eropa.
Kurangnya Perlindungan Data di AS
Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, menilai perjanjian ini terjadi dalam kondisi yang timpang, sebab AS belum memiliki UU Perlindungan Data di tingkat federal. Saat ini, perlindungan data di AS bersifat sektoral dan terbatas pada beberapa negara bagian.
Meski ada usulan American Data Privacy and Protection Act (ADPPA) sejak 2022, undang-undang tersebut belum disahkan hingga pertengahan 2025.
Wahyudi menekankan pentingnya Indonesia menetapkan contractual clauses (CCS) yang jelas, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa bila terjadi pelanggaran atau kebocoran data.
“Diperlukan kontrak standar yang menjamin pelindungan dan yurisdiksi hukum yang jelas dalam pengelolaan data lintas negara,” katanya.
Data Pribadi Wajib Dilindungi
Sebagai informasi, UU PDP mengatur dua jenis data pribadi:
- Data umum, seperti nama, jenis kelamin, agama, dan kewarganegaraan.
- Data spesifik, seperti kesehatan, biometrik, genetika, orientasi seksual, dan keuangan pribadi.
Keduanya wajib dilindungi negara, khususnya data bersifat spesifik yang memiliki potensi risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.













