GoTimes.id, Jakarta – Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat tengah merampungkan Perjanjian Dagang Resiprokal yang mencakup sejumlah poin kerja sama, termasuk perdagangan digital dan transfer data lintas batas. Namun, salah satu klausul terkait pemindahan data pribadi dari Indonesia ke AS menuai sorotan tajam dari publik dan kelompok masyarakat sipil.
Dalam lembar fakta (fact sheet) yang dirilis Gedung Putih pada Selasa (22/7/2025), pemerintah AS mendesak agar Indonesia menghapus hambatan terhadap perdagangan digital, termasuk memberikan pengakuan hukum terhadap pemindahan data pribadi ke yurisdiksi AS. Hal ini ditujukan agar AS dapat diakui sebagai negara dengan perlindungan data pribadi yang setara menurut ketentuan hukum Indonesia.
Sebagai bagian dari kesepakatan, AS juga menurunkan tarif resiprokal dari 32 menjadi 19 persen untuk produk asal Indonesia, sementara Indonesia akan menghapus sejumlah tarif bagi produk industri dan agrikultur dari AS. Kedua negara juga menyepakati komitmen lanjutan terkait perdagangan layanan dan investasi digital.
Kekhawatiran atas Perlindungan Data
Klausul transfer data tersebut memunculkan kekhawatiran pelanggaran atas kedaulatan digital dan hak privasi warga negara. Banyak pihak menilai perjanjian ini berpotensi mengabaikan ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), terutama soal persyaratan ketat dalam transfer data pribadi ke luar negeri.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa pemindahan data pribadi lintas negara diperbolehkan dalam koridor hukum nasional untuk kepentingan yang sah dan terbatas, seperti layanan cloud, mesin pencari, media sosial, e-commerce, serta kebutuhan riset dan inovasi.
“Transfer data antarnegara dilakukan di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia. Prinsip utama yang dijunjung adalah tata kelola data yang baik, pelindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional,” tegas Meutya, Kamis (24/7/2025).
Ia juga memastikan bahwa kesepakatan tersebut belum final dan masih dalam tahap negosiasi teknis antara pemerintah Indonesia dan AS.
Kritik dari Masyarakat Sipil
Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoroti minimnya transparansi dalam pembentukan perjanjian. Peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas, menyoroti belum adanya kepastian jenis data apa saja yang akan masuk dalam cakupan transfer data lintas batas ini, dan apakah menyasar data dari sektor publik atau hanya privat.
“Belum jelas apakah kebijakan ini mencakup data publik atau hanya sektor privat. Padahal Indonesia menerapkan kebijakan lokalisasi data untuk informasi publik,” katanya.