“Anak saya tidak banyak menuntut. Yang dia minta cuma doa,” ujarnya lirih, sambil menyeka peluh di dahi.
Ibunya, Nursandi Dadu, tak pernah berhenti berdoa.
“Setiap kali Diki keluar rumah, saya bisikkan: semoga langkahmu diberkahi,” katanya.
Kini, di tahun keduanya mencoba, Diki kembali mengantre di barisan panjang para calon prajurit muda. Tubuhnya mungkin lelah, tapi tekadnya tak pernah retak.
“Saya tidak punya apa-apa selain doa dan restu dari orang tua. Mudah-mudahan kali ini saya bisa berhasil dan lulus sebagai abdi negara,” ujarnya penuh keyakinan.
Diki tahu, menjadi tentara bukan sekadar seragam atau pangkat. Bagi dia, itu adalah cara mengabdi kepada orang tua, kepada tanah yang membesarkannya, dan kepada merah putih yang pernah ia kibarkan di langit Istana.













