Oleh: Ahmad Fajrin
Sekretaris Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Grontalo Utara
GoTimes.id, Gorontalo Utara – Polemik terkait dana deviden dari PT Bank SulutGo (BSG) kepada Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara kian membingungkan publik. Dari total
deviden senilai Rp3,6 miliar, disebut-sebut bahwa hanya Rp2,2 miliar yang masuk ke kas daerah, sementara Rp1,4 miliar sisanya masih “tertahan.” Keterangan ini diperkuat dengan pernyataan sejumlah anggota DPRD yang menyebut bahwa BSG belum menyetor sisa Rp1,4 miliar tersebut.
Namun, pertanyaannya: benarkah BSG belum menyetor? Atau ada informasi yang sengaja tidak disampaikan secara utuh kepada publik?
Berdasarkan informasi kredibel yang penulis peroleh, BSG justru telah menyerahkan secara utuh seluruh deviden milik Pemda Gorontalo Utara senilai Rp3,6 miliar. Artinya, jika memang benar sudah disetor, maka kebingungan publik selama ini tidak lagi pantas diarahkan ke BSG, melainkan justru ke internal Pemerintah Daerah sendiri.
Jika dana tersebut telah masuk seluruhnya, lalu mengapa yang tercatat atau diketahui DPRD hanya Rp2,2 miliar? Ke mana sisa Rp1,4 miliar yang kini menjadi bola panas itu?
Masalah ini menjadi pelik karena narasi yang beredar di media maupun ruang publik tak kunjung diluruskan. Bahkan ketika DPRD disebut sudah mengetahui soal Rp1,4 miliar yang “belum masuk”, tak ada penjelasan menyeluruh dari pihak Pemda. Ini menimbulkan dua kemungkinan serius:
Pemda belum melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan dengan baik—sehingga sebagian dana yang sudah masuk belum tercermin dalam sistem keuangan resmi.
Atau lebih buruk lagi: ada dana yang telah diterima, namun belum dilaporkan penggunaannya kepada publik maupun DPRD.
Keduanya mencerminkan persoalan serius dalam tata kelola keuangan daerah. Apalagi jika asumsi yang berkembang salah arah dan terus menyudutkan BSG, sementara realitasnya bisa jadi berbeda.
Tanpa klarifikasi terbuka dari Pemda maupun BSG, publik terus disuguhi opini seolah-olah BSG belum menjalankan kewajiban. Padahal, jika benar dana telah disetor penuh, maka BSG telah menunaikan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apakah ini bentuk pengalihan isu? Apakah karena lemahnya komunikasi publik dari pemerintah daerah, lalu pihak eksternal seperti BSG dijadikan sasaran empuk untuk dikambinghitamkan?
Ini pertanyaan serius yang layak diajukan, terutama karena menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi keuangan dan pemerintahan daerah.
Transparansi adalah pilar utama dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak cukup hanya mengatakan “sedang dicek” atau “masih diklarifikasi.” Publik butuh data, waktu penerimaan, dan peruntukan dana tersebut. Jika Rp3,6 miliar memang sudah masuk, maka seharusnya itu tercermin dalam sistem pelaporan dan dokumen anggaran resmi.
Sebaliknya, jika dana belum masuk, maka BSG berkewajiban menjelaskan keterlambatan tersebut. Tapi jika BSG telah setor dan Pemda hanya mencatat Rp2,2 miliar, maka masalahnya jelas berada di internal pengelolaan daerah, bukan di pihak bank.
DPRD pun tidak bisa hanya mengandalkan informasi satu sisi. Pengawasan harus didasari pada data yang valid dan bukan pada persepsi publik yang belum tentu benar. Jika tidak, pengawasan akan berubah menjadi propaganda.
Jika benar Rp1,4 miliar telah disetor, maka ke mana uang itu? Jika belum disetor, mengapa belum ada pernyataan resmi dari BSG?
Jawaban atas dua pertanyaan ini sangat menentukan arah opini publik. Satu hal yang pasti: publik tidak boleh terus disesatkan oleh informasi yang setengah-setengah.
Warga Gorontalo Utara berhak tahu: apa yang sebenarnya terjadi dengan deviden Rp3,6 miliar milik mereka.