Oleh: Ahmad Fajrin
(Sekretaris Pro Jurnalis Media Siber (PJS) Kabupaten Gorontalo Utara)
GoTimes.id – Di atas kertas, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Anggrek seharusnya menjadi babak baru bagi kemajuan Gorontalo Utara. Tapi di lapangan, geliat pembangunan ini justru berisiko menjadi panggung subur bagi para makelar tanah dan birokrat oportunis. Di tengah gegap gempita investasi, rakyat penggarap mulai kehilangan tempat. Dan dalam kekosongan pengawasan, mafia tanah mulai menyusun agenda.
Sejak ditetapkan sebagai proyek strategis nasional, kawasan yang terletak di Kecamatan Anggrek ini menjadi rebutan. PT. Gobel Bangun Lestari (PT GBL), sebagai pengembang utama, telah menyelesaikan pembayaran 100 persen untuk tahap I. Namun pada tahap II, baru dibayarkan panjar sebesar lima persen. Sementara pembayaran tahap III dijadwalkan pada Agustus 2025. Pola pembayarannya menimbulkan tanya, mengapa tahap I bisa lunas dalam satu kali transaksi, tapi tahap II justru mandek?
Alasannya tidak pernah diumumkan secara terbuka. Dugaan yang beredar proses administratif amburadul, dokumen kepemilikan rancu, dan permainan makelar makin tercium.
Ketika Surat Bicara, Lahan Hilang
Konflik paling mencolok muncul di Desa Ilangata Barat. Warga yang telah puluhan tahun menjaga lahan pesisir dan kawasan mangrove tiba-tiba tak lagi dianggap sebagai pemilik sah. Surat-surat kepemilikan fiktif bermunculan. Oknum pejabat, termasuk mantan pelaku penguasaan tanah negara yang pernah ditahan, kini kembali muncul di balik klaim atas lahan-lahan strategis.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejumlah warga menyebut adanya oknum yang menawarkan jasa “pengurusan surat” untuk keperluan pembayaran ganti rugi. Biayanya tentu tidak murah. Surat itu menjadi tiket masuk ke arena pembebasan lahan, sekalipun tanah yang diklaim belum pernah disentuh oleh si pemilik kertas.
Praktik seperti ini berpotensi melanggar banyak pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Pasal 263 (pemalsuan surat), Pasal 385 (penyerobotan tanah), dan Pasal 421 (penyalahgunaan wewenang). Bila benar terjadi, ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pidana yang terstruktur dan sistematis.
Tim 12 dan Bayang-Bayang Pungli
Pemerintah desa membentuk “Tim 12”, terdiri dari aparat dan perwakilan warga, untuk mendata lahan dan penggarap. Namun tim ini justru menjadi episentrum kekacauan.