Oleh : Frederick Gustama Makagansa
“Language is the house of Being.” – Martin Heidegger
Gotimes.id – Dalam dunia yang terus bergerak cepat oleh arus informasi dan perubahan, satu hal tetap menjadi pondasi yang tak tergantikan: kemampuan memahami dan mengakses pengetahuan. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jembatan antara pikiran dan peradaban. Dalam dunia kontemporer, bahasa induk dari pengetahuan modern adalah bahasa Inggris.
Namun ironi terjadi. Bangsa Indonesia, yang telah merdeka selama hampir delapan dekade, justru mengalami krisis dalam kedalaman intelektual akibat rendahnya kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Sementara itu, generasi intelektual sebelum kemerdekaan yang belajar di bawah penjajahan justru memperlihatkan daya serap dan daya tafsir luar biasa terhadap khazanah pemikiran Barat maupun Timur, berkat kemahiran mereka dalam bahasa Belanda, Arab, Inggris, bahkan Prancis dan Jerman.
Perbandingan Historis: Kedalaman Pra-Kemerdekaan vs Dangkalnya Pascakemerdekaan
Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, dan Soekarno adalah produk zaman yang, walau terjajah, memiliki akses langsung terhadap teks asli Marx, Kant, Hegel, Gandhi, Tolstoy, hingga Sun Yat Sen. Mereka tidak membaca ilmu melalui terjemahan kedua atau ketiga, melainkan langsung dari mata airnya. Karena itu, nalar mereka tajam, penilaian mereka mendalam, dan strategi perjuangan mereka kompleks namun presisi.
Bandingkan dengan kondisi pascakemerdekaan. Sistem pendidikan nasional yang terjebak dalam semangat purifikasi kebahasaan nasional — meskipun dengan niat mulia — justru membatasi generasi baru untuk menjangkau cakrawala pengetahuan global. Kurikulum yang minim bahasa asing, guru yang belum siap, dan budaya baca yang rendah, semuanya berkontribusi terhadap produksi wacana-wacana lokal yang miskin akar dan referensi.
“He who knows only his own side of the case, knows little of that.” – John Stuart Mill
Bahasa Inggris: Bukan Penjajah, tapi Pengantar Ilmu Pengetahuan
Sudah saatnya kita menyadari bahwa bahasa Inggris bukanlah lawan dari nasionalisme, melainkan alat untuk memperkuatnya. Kita tidak mungkin memenangkan kompetisi global jika tidak mengerti bahasa dunia. Menolak penguasaan bahasa Inggris atas nama kebangsaan justru adalah bentuk pengkhianatan terhadap potensi intelektual anak bangsa.
“Tidak ada ilmu yang bisa diserap tanpa bahasa. Maka siapa yang menguasai bahasa, dia menguasai dunia.” – Imam Syafi’i
Kutipan Hikmah Timur dan Barat: Pengetahuan adalah Kewajiban Moral
Dari Timur, kita belajar dari Confucius yang berkata, “If names be not correct, language is not in accordance with the truth of things.”
Dari Barat, Francis Bacon mengingatkan, “Knowledge is power.”
Dan dari naskah kebijaksanaan Nusantara seperti Serat Centhini, kita belajar bahwa bahasa adalah wadah pengetahuan dan petunjuk jalan batin.
Paradigma Baru: Bahasa Inggris sebagai Hak Setiap Anak Bangsa
Pengarusutamaan bahasa Inggris harus menjadi kebijakan nasional, bukan sekadar pilihan individual atau fasilitas eksklusif sekolah internasional. Negara harus memastikan bahwa:
- Bahasa Inggris diajarkan sejak dini dengan metode alami dan kontekstual.
- Guru-guru dilatih dan diberi penghargaan yang layak agar mampu menjadi jembatan dunia global.
- Akses terhadap buku-buku berbahasa Inggris dibuka luas, bukan dibatasi dengan alasan nasionalisme kosong.
- Produksi narasi dan jurnal ilmiah Indonesia dalam bahasa Inggris didorong agar dunia mendengar suara Indonesia yang sejati.
Kebajikan sebagai Rencana Aksi: Saatnya Bertindak
Negara yang tidak menjadikan bahasa pengetahuan sebagai prioritas adalah negara yang membiarkan rakyatnya terjebak dalam ketidaktahuan yang sistematis. Kita tidak sedang membicarakan pilihan gaya hidup, tetapi hak dasar untuk memahami ilmu pengetahuan.
Kita membutuhkan generasi baru yang tidak sekadar nasionalis, tetapi juga kosmopolitan. Mereka harus bisa membaca Foucault dan Rumi, mengerti Marx dan Mencius, menyerap teori fisika kuantum dan etika sufistik — langsung dari teks asli.
“Yang kita perlukan bukanlah semangat anti-Barat, tetapi semangat pos-Barat: di mana kita dapat melampaui Barat dengan kedalaman sendiri.” – Franz Magnis-Suseno
Penutup: Menuju Pencerahan Pendidikan
Mari kita berhenti menari dalam bayang-bayang masa lalu, dan melangkah ke masa depan dengan bahasa ilmu pengetahuan sebagai senjata perjuangan baru. Penguasaan bahasa Inggris bukan bentuk penyerahan diri kepada budaya asing, tetapi penguasaan atas masa depan kita sendiri.
“Berbahasa asing bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan menemukan kembali kemerdekaan berpikir yang sejati.” – Anonymus, Indonesia
Bahasa Ilmu, Bangsa Maju: Seruan Kebijakan Nasional untuk Pengarusutamaan Bahasa Inggris di Seluruh Jenjang Pendidikan
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya hanya dapat dilihat oleh mata yang terbuka. Bahasa adalah mata itu.” — Abdullah bin Al-Muqaffa
I. Pintu Tertutup yang Tak Kita Sadari
Bayangkan seorang siswa di desa yang penuh semangat belajar. Ia menatap buku fisika, biologi, atau filsafat, tetapi semua konsep yang ia pelajari berasal dari sumber yang diterjemahkan secara setengah hati, atau bahkan belum diterjemahkan sama sekali. Ia tidak membaca langsung dari gagasan asli Einstein, Darwin, Chomsky, atau Harari. Ia membaca versi yang sudah disaring, didaur ulang, atau bahkan salah tafsir. Ia haus pengetahuan, tapi dinding bahasa menghalanginya.
Inilah tragedi intelektual kita hari ini: bahasa Inggris sebagai bahasa induk ilmu pengetahuan modern tidak diberi tempat utama dalam sistem pendidikan kita.
II. Sebuah Kontras Tajam: Generasi Pra-Kemerdekaan vs Pascakemerdekaan
Mari kita mundur ke awal abad ke-20. Mohammad Hatta menulis tesis tentang kooperasi dalam bahasa Belanda dan membedah sosialisme Eropa dengan ketajaman luar biasa. Sutan Sjahrir membaca Nietzsche, Spinoza, dan Shakespeare dalam bahasa aslinya. Tan Malaka, tokoh kiri revolusioner, menulis Madilog dengan sintesis pemikiran Barat dan Timur, hasil dari pembacaannya atas filsafat Jerman, materialisme dialektis, dan logika klasik.