“Kami undang orang tua untuk pendampingan. Tidak ada istilah tidak naik kelas, tapi capaian pembelajaran (CP) harus diselesaikan,” ujar Sarjan.
Namun klaim ini dibantah oleh Fajri. Ia menegaskan tidak pernah menerima pemberitahuan resmi apa pun terkait kesulitan belajar anaknya, baik dari wali kelas, guru BK, maupun pondok.
“Kalau memang sudah sering dikomunikasikan, mana buktinya? Tidak ada. Kami justru tahu semuanya ketika rapor mau dibagikan,” kata Fajri.
Sementara itu, pimpinan Pondok At-Tanwir, Eko Setiawan, menyatakan bahwa siswi tersebut sebelumnya sudah mendapat SP2 akibat sejumlah pelanggaran, termasuk menyebar foto santri dan mencuri buku.
“Kami beri SP2. Secara aturan dia seharusnya sudah masuk SP3. Tapi kami tetap berikan ruang pembinaan,” kata Eko.
Namun pernyataan Eko justru memperkuat anggapan bahwa pihak pondok menyimpan catatan pelanggaran tanpa pernah mengabari orang tua secara rutin atau transparan.
“Kami hanya diberi SP saat kejadian dulu. Setelah itu tidak pernah ada laporan apa-apa. Tahu-tahu, semua ditumpuk jadi alasan untuk memberatkan anak kami,” ucap Fajri.
SMP Muhammadiyah 1 Boarding School yang terintegrasi dengan Pondok At-Tanwir dikenal sebagai salah satu lembaga pendidikan unggulan berbasis asrama di Gorontalo. Namun kasus ini membuka catatan serius tentang lemahnya sistem pengawasan, komunikasi, dan akuntabilitas lembaga terhadap siswa.
Fajri berharap Muhammadiyah sebagai organisasi induk segera melakukan evaluasi terhadap tata kelola sekolah dan pondok.
“Kami akan menyurati pihak-pihak terkait agar ini tidak terulang. Jangan sampai sekolah hanya fokus pada nama besar, tapi gagal dalam mendidik dan membina,” tutupnnya