Gotimes.id, Gorontalo Utara – Pemerintahan Desa Deme II, Kecamatan Sumalata Timur, kembali diterpa kontroversi. Kepala Desa Syamsudin Karim Ngou diduga tidak transparan dalam mengelola dana kompensasi untuk proyek Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 KV PLTU Gorontalo–Tolinggula yang diterima desa pada tahun 2023. Meskipun sudah ada laporan penggunaan dana, sejumlah pihak mempertanyakan kejelasan dan rincian penggunaan sisa dana yang masih belum terungkap. Kamis (23-1).
Syamsudin yang dihubungi melalui pesan WhatsApp menegaskan bahwa pengelolaan dana dilakukan secara kolektif bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan diperuntukkan untuk kepentingan umum. Namun, pernyataan tersebut dinilai tidak cukup meyakinkan bagi masyarakat yang menduga adanya ketidaktransparanan dalam pengelolaan dana.
“Tidak ada memperkaya diri, karena dana ini saya gunakan bersama BPD melalui rapat,” jelas Syamsudin, yang dikutip dari Anteronesia.id.
Namun, meskipun dana yang diterima mencapai lebih dari Rp400 juta, kepala desa tersebut hanya menyebutkan penggunaan dana untuk beberapa proyek, seperti pembangunan dua masjid, rehabilitasi kantor desa, dan pengadaan fasilitas lainnya. Alokasi dana yang diumumkan pun dinilai kurang jelas, terutama soal sisa lebih dari Rp100 juta yang belum dijelaskan rinciannya.
“Iya, Rp400 juta lebih. Jumlah besar, dan masih banyak. Ada catatan semua di kami,” ungkap Syamsudin, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai penggunaan dana tersebut.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Syamsudin mengaku bahwa dirinya pernah dimintai keterangan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo terkait penggunaan dana ini. Namun, ia tidak memberikan penjelasan kapan dan bagaimana dana tersebut dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Desa (PADes) atau apakah pengelolaannya sudah sesuai dengan Peraturan Desa (Perdes).
Pemerintah Desa Deme II sendiri telah merilis laporan penggunaan dana yang totalnya mencapai Rp443.040.000. Namun, meski laporan tersebut diumumkan, masyarakat merasa tidak puas karena rincian penggunaan sisa dana yang cukup besar tidak dipaparkan secara rinci. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dengan dana tersebut pun dipertanyakan keabsahannya, mengingat dana yang diterima sangat besar dan seharusnya dikelola dengan lebih hati-hati dan terbuka.
Laporan penggunaan dana tersebut mencakup berbagai proyek infrastruktur, fasilitas, dan kegiatan sosial, antara lain pembangunan Masjid Ar-Rayyan (Rp150 juta), Masjid An-Nuur (Rp75 juta), rehabilitasi Kantor Desa (Rp75 juta), pengadaan sound system (Rp10 juta), hingga biaya kegiatan sosial dan kebudayaan yang tidak jelas perkembangannya.
Meski laporan penggunaan dana telah dirilis, sorotan publik semakin tajam terhadap transparansi pengelolaan dana. Masyarakat menginginkan klarifikasi lebih lanjut mengenai sisa dana yang belum dibahas secara terbuka, serta legalitas penggunaan dana melalui Perdes yang hingga kini masih belum terjawab. Ada pula kekhawatiran bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat desa malah terkesan dikelola tanpa pengawasan yang cukup.
Tuntutan agar pemerintah desa lebih terbuka dan menjelaskan secara rinci bagaimana dana tersebut digunakan semakin menguat. Banyak pihak berharap agar Kejaksaan Tinggi Gorontalo segera melakukan investigasi lebih lanjut untuk memastikan apakah ada penyalahgunaan dana yang merugikan kepentingan masyarakat.
Dengan besarnya dana yang diterima dan alokasi yang dirasa tidak mencerminkan keterbukaan, masyarakat Desa Deme II berhak mendapatkan penjelasan yang jelas dan transparan mengenai penggunaan dana kompensasi tersebut. Tanpa kejelasan, potensi penyalahgunaan dana ini dapat mengancam kepercayaan publik terhadap pemerintah desa.
Selain itu, Syamsudin juga mengungkapkan kontroversi lainnya terkait perubahan surat kepemilikan tanah yang sebelumnya tercatat sebagai tanah desa. Surat-surat kepemilikan tanah tersebut diubah atas permintaan pihak PLN sebagai bagian dari penyesuaian pembayaran kompensasi selisih tebang dan timpah jalur Right of Way (ROW) Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 KV PLTU Gorontalo–Tolinggula.
Syamsudin menjelaskan bahwa surat-surat kepemilikan tanah yang sebelumnya tertera sebagai “Tanah Desa/Yusuf Talib” diubah dengan menghapus kalimat “Tanah Desa” dan menggantinya dengan nama pribadi. Perubahan ini melibatkan enam nama aparat desa dan BPD, yang menurut Syamsudin terkait dengan kedekatan tanah negara dengan tanah pribadi mereka.
Namun, hal ini menuai kontroversi karena tanah yang dilalui jalur kabel tersebut sejatinya adalah tanah negara atau tanah desa yang tidak boleh dialihkan atau dimiliki secara pribadi. Langkah ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa tanah negara tidak dapat dialihkan tanpa prosedur hukum yang sah.
Praktisi hukum, Tutun Suaib, SH, menilai bahwa tindakan Kepala Desa Deme II ini berpotensi melanggar hukum terkait pengelolaan tanah desa.
“Tanah desa atau tanah negara tidak boleh dialihkan menjadi milik individu tanpa proses yang sah. Apa yang dilakukan oleh kepala desa ini mengarah pada penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.